Suasana di ruang tunggu poliklinik ini terasa sesak. Orang-orang berdesakan duduk di kursi yang di sediakan. Dengan raut yang agak lelah, seorang perempuan paruh baya menghampiri ruang perawat.
“Gimana Mbak, sudah ada kamar? ”
“Maaf ya Bu, masih penuh sekali.”
Jawab seorang perawat berseragam biru muda itu.
“Dari kemarin Bapak saya mau
masuk, belum dapat juga. Kapan bisa masuk Mbak?”
“Belum tahu ya Bu, yang ngantri
di sini saja masih banyak, belum lagi yang dari IGD sana. Memang beberapa hari
ini penuh banget Bu. Atau coba ke Rumah Sakit lain, Dokternya kan tidak hanya
praktek di sini.”
“Sudah coba hubungi, semua rumah
sakit sama-sama sedang penuh Mbak.”
Aku tak habis pikir, masyarakat
ini bukanlah komunitas orang-orang bodoh atau buta huruf, namun peradaban
modern dengan pencapaian teknologi dan pengetahuan yang dicapainya tidak
membuat masyarakat ini mampu membebaskan diri dari berbagai problem kesehatan.
Masyarakat ini juga bukan komunitas orang-orang kurang gizi dan serba
kekurangan, namun dengan kemakmuran yang dicapainya tidak membuatnya mencapai
derajat kesehatan yang baik. Hampir semua orang yang aku temui, memiliki
keluhan tentang persoalan kesehatan yang mereka hadapi.
Menempati salah satu kamar di
rumah sakit membutuhkan biaya tidak sedikit. Juga bukan sesuatu yang dicitakan
orang-orang. Kalau ditawarkan, hampir tidak ada yang mau menyandang predikat
sebagai orang sakit. Namun yang terjadi, begitu banyak orang sampai putus asa
hanya untuk mendapatkan kesembuhannya. Hingga tiap hari berduyun-duyun orang
mendatangi poliklinik ini dan memenuhi setiap kamar rawat inapnya.
Untuk kesekian kalinya persoalan
seperti ini kujumpai. Bahkan aku sendiri juga sudah terlalu sering merasakannya,
antrean panjang untuk mendapatkan sebuah kamar di rumah sakit ini. Di antara
perasaan harap-harap cemas aku beranjak keluar, mungkin harus menunggu sampai
malam baru bisa masuk, seperti biasanya.
Aku menuju teras masjid di
sebelah gedung ini. Tempat yang membantuku meluruhkan kejenuhan, untuk kesekian
puluh kalinya menemani ibuku yang harus menjalani kemoterapi. Pohon-pohon yang
rimbun di sekitar masjid ini membuat suasana di sini cukup segar. Ditambah
keberadaan lapak yang menjual buku-buku menumpang di teras masjid ini,
membuatku betah di sini. Penjual bukunya adalah penjaga masjid ini, yang
bertanggung jawab untuk urusan kebersihan hingga mengingatkan orang-orang
ketika tiba waktu shalat. Aku bisa menumpang membaca berbagai buku di sini, aku
anggap seperti perpustakaan kecil di sudut rumah sakit.
“Di depan masjid ini, nantinya
akan dibangun gedung baru.”
Tak terlalu jelas aku mendengar
pembicaraan itu. Ternyata jawaban dari antrean panjang pasien-pasien yang
membludak adalah membangun gedung-gedung baru yang megah. Tentunya bukan hanya menambah
jumlah kamar rawat inapnya, termasuk juga dalam rangka meningkatkan kualitas
pelayanan. Memang secara fisik rumah sakit ini kurasakan masih tertinggal, bangunan-bangunannya
memang masih jadul. Meski demikian, telah memiliki berbagai prestasi yang istimewa,
seperti transplantasi hati yang belum pernah berhasil dilakukan rumah sakit
lain di negeri ini.
Aku juga mendengar bahwa di kota
atas sana, akan dibangun rumah sakit baru yang lebih besar dari rumah sakit
ini. Sebuah harapan bagi orang-orang sakit untuk mendapatkan fasilitas yang
lebih baik, perbaikan teknologi pengobatan untuk harapan kesembuhan yang lebih
baik. Namun apakah ini juga merupakan sebuah ‘optimisme’ tentang masa
depan masyarakat kita yang masih akan dipenuhi orang-orang sakit?
Tidakkah masa
depan yang kita impikan adalah suatu kehidupan masyarakat yang sehat, terbebas
dari tetek bengek persoalan sakit, orang-orang tidak lagi membutuhkan dokter
dan obat, poliklinik dan rumah sakit tak lagi dikunjungi orang?
Kusadari harapa indah ini merupakan
sesuatu yang mustahil terwujud, dan baru
akan terwujud di surga kelak. Antara sehat dan sakit, kemudahan dan kesulitan, atau
kekuatan dan kelemahan adalah takdirNya yang senantiasa mengiringi kehidupan makhlukNya
di dunia ini. Allah memberi karunia akal pikiran yang membuat manusia menjadi
makhluk luar biasa, tapi manusia juga tidak diciptakan sebagai makhluk super
yang bebas sama sekali dari kelemahan.
Tinggal bagaimana kita memaknai
keberadaan sakit beserta hikmah-hikmah yang menyertainya. Menjadikan sakit
sebagai sarana untuk mengerti makna nikmat kesehatan, yang sering terlupakan
begitu saja. Atau meluruhkan keangkuhan kita di hadapan Sang Pencipta, lebih
mudah menerima nasehat, mengasah rasa kesetiakawanan, serta menunjukkan kelemahan
dan kebutuhan seorang hamba. Bisa juga membuat kita lebih berhati-hati dalam
menjalankan pola hidup, mengendalikan diri, lebih takut untuk mengabaikan
batas-batas laranganNya. Sakit terkadang menjadi suatu inspirasi yang hebat,
yang bermanfaat bagi peradaban.
Dua tahun kemudian, aku tiba
kembali di rumah sakit ini setelah sekian lama tak pernah menyambangi. Hanya
sesekali lewat jalan raya di depannya, melihat gedung megah yang sedang
dibangun. Ketika tiba waktu shalat, aku beranjak menuju masjid yang cukup jauh
di ujung sana. Juga kerinduanku pada perpustakaan kecil di terasnya, penjual
bukunya tak pernah melarangku menumpang membaca buku-buku yang digelar di
lapak.
Dan, perpustakaan itu sudah tidak
ada bersama tumbangnya sebagian pohon-pohon yang rimbun di sekitar masjid ini.
Gedung megah itu sudah hampir jadi, sekaligus membutuhkan perluasan halaman dan
tempat parkir. Akhirnya lapak buku dan pohon-pohon itu tergilas juga oleh
tuntutan pembangunan.
Seberapa pentingkah keberadaan
lapak penjual buku di sudut rumah sakit ini. Mungkin mereka menganggap
keberadaannya tidak urgen dengan keperluan rumah sakit. Persoalan kesehatan ini
mungkin dianggap cukup diselesaikan oleh
secarik resep dokter untuk ditukar dengan sejumlah obat di apotek, atau
berbagai peralatan canggih untuk mendiagnosa dan melakukan tindakan.
Ketika semakin hari,
berduyun-duyun semakin banyak pasien yang mengantre di rumah sakit ini,
tidakkah kita sedikit membuka mata untuk menemukan apa yang salah dari
kehidupan kita? Tentang apakah yang menyebabkan sebagian besar kita terbelit
permasalahan kesehatan.
Barangkali dari buku-buku yang tersisihkan
itu, kita mendapatkan petunjuk untuk menjawab persoalan ini. Membuka cakrawala
pengetahuan tentang pola hidup yang baik, kebiasaan yang sehat atau yang
sebaliknya, tanpa disadari berakibat buruk bagi tubuh sehingga mesti dihindari.
Tentang menata jiwa, emosi dan mengendalikan diri. Pengetahuan dari para ahli
tentang kesehatan hingga ajaran dari Sang Pencipta untuk para hambaNya, untuk
membimbing kita secara utuh untuk menjalani segala aspek kehidupan dengan baik.
Ketika di antara kita banyak yang
sudah berputus asa menjalani upaya medis, teknologi yang kian canggih tidak
mampu memberi kesembuhan yang kita harapkan. Sebagian jawabannya barangkali
bisa ditemukan dalam buku-buku itu. Tentang hal-hal yang seolah tidak ada
kaitannya dengan pengobatan, dengan doa, taubat atau sedekah, hingga
orang-orang yang pernah mengalami keajaiban ini bisa sharing melalui buku-buku
itu.
Betapa pengetahuan kita yang
hidup di zaman modern ini seringkali tertinggal termasuk hal-hal yang
berhubungan dengan tubuh kita sendiri. Dalam bimbingan wahyu, Rasul kita mengajarkan
tentang berbagai kebajikan secara menyeluruh, termasuk tuntunan untuk hidup dengan
sehat. Ajaran tentang memilih makan makanan yang baik, makan dan minum dengan
cara yang baik, mengunyah dengan sempurna, tidur yang baik, ajaran tentang
kebersihan dan masih banyak hal yang bagi manusia modern ini justru teramat
asing. Kebanyakan kita sepertinya terlalu primitif dalam menjalani hidup bila
dibandingkan dengan pengetahuan Rasul berabad silam.
Tanpa disadari berbagai kebiasaan
yang kita lakukan ternyata berakibat tidak baik. Kita terbiasa minum atau makan
buah sesudah makan sebagai cuci mulut, makan atau minum terlalu dekat sebelum
tidur, meniup makanan panas, yang kita merasa kebiasaan itu baik-baik saja
padahal sebenarnya mengganggu kesehatan. Sementara hal-hal tidak baik yang
sudah kita ketahui pun, masyarakat modern ini belum mampu melepaskannya. Budaya
junk food, makanan kita yang mengandung bahan kimia berbahaya, pengawet,
pestisida, pewarna dan masih banyak hal buruk yang belum mampu dihindari. Ketidakmampuan
kita menyelaraskan aktifitas jasad dan ruh, menempatkan kerja, istirahat dan
ibadah. Sehingga sudah maklum jika berbagai persoalan kesehatan membelit kita.
Sejak kecil kita sudah begitu
akrab dengan yang namanya obat. Ketika orang tua kita menerjemahkan kata kasih
sayang kepada anak dengan secepatnya membawa ke doktrer bila menderita sakit.
Tak tega melihat si kecil sakit, pokoknya ingin secepatnya sembuh. Tak sabar
menunggu lama, maunya minta dosis yang lebih tinggi. Dan kebodohan ini juga
menghinggapi kalangan menengah ke atas yang lebih terpelajar.
Aku dengar di negara-negara Eropa
seperti Belanda, dokter di sana tidak mudah memberikan obat, apalagi bagi anak
kecil. Kalau sekedar flu, paling-paling disuruh banyak minum dan istirahat,
diberi surat ijin sakit. Antibiotik, penurun panas, pengurang rasa sakit,
bahkan sekedar suplemen tidak diberikan. Beda dengan persepsi masyarakat kita
bila datang ke dokter, harus selalu mendapatkan obat dan cepat sembuh. Sakit
yang menimpa kita sejak kecil seperti flu, dianggap sebagai siklus yang sudah
biasa, biarkan sembuh dengan sendirinya agar kekebalan tubuh kita terlatih.
kapanpun orang sakit akan
senantiasa ada, sudah merupakan bagian dari kodrat kita. Upaya untuk
mengobatinya senantiasa dibutuhkan, namun upaya pencegahannya tidak semestinya
kita abaikan. Bukan hanya untuk membangun berbagai fasilitas pengobatan, namun
juga upaya pencegahannya, sebelum penyakit datang menimpa.
Aku berharap perpustakaan kecil
ini suatu hari nanti kembali diberi tempat, untuk membuka berbagai cakrawala
pengetahuan yang berguna. Aku juga berharap suatu hari nanti, lebih banyak
orang sehat yang mendatangi dokter dan rumah sakit dalam upaya meraih kehidupan
yang berkualitas dan sehat sebelum penyakit datang menimpa, daripada
orang-orang yang telah terlanjur sakit untuk berobat. Aktifitas medis lebih
banyak digunakan untuk mencegah daripada mengobati. (dakwatuna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar