Nama pemakaman Bergota ini sudah sering aku dengar, namun baru sekali aku menyusuri ujung-ujungnya. Kurasa pemakaman teramat luas bila dibandingkan makam di desa-desa kecil sekitar tempat tinggalku. Perhatianku juga tertuju pada bunga mawar yang dijajakan para pedagang di makam ini, mungkin bunga-bunga ini dipetik dari sekitar desa-desa yang dekat dengan tempat aku tinggal.
Bunga mawar ini yang membuat aku
tak habis pikir, dari harganya yang teramat menakjubkan, begitu tinggikah nilai
yang dimilikinya? Mengapa sayur atau buah yang tidak hanya lezat namun
kandungan gizinya sangat bermanfaat, harganya tidak sebaik bunga-bunga yang
hanya untuk ditaruh berserakan layu di atas makam-makam ini?
Kadangkala para petani teramat
terpukul, ketika harga sawi, tomat atau wortel sedang jatuh, hanya tiga ratus
rupiah tiap kilonya, hingga dibiarkan membusuk di tangkainya, atau untuk
makanan ternak seperti halnya rerumputan. Jangankan untuk mengembalikan modal,
untuk memetik dan membawanya ke pasar saja tidak menutup ongkos. Sedang bunga
mawar ini seukuran keranjangnya bisa mencapai ratusan ribu rupiah di hari
tertentu seperti Lebaran, bahkan pada hari Jum’at Kliwon bulan Ruwah kemarin mencapai
tujuh ratus ribu rupiah.
Dan andai para penghuni kubur ini
dapat berbicara dengan kita, kuyakin mereka akan menangis, mengapa ungkapan
cinta dan persembahan yang kita berikan untuk mereka hanya berupa bunga-bunga
yang akan layu berserakan. Seandainya persembahan kita untuk para penghuni
kubur ini diwujudkan dalam bentuk menyantuni orang miskin, anak yatim atau kaum
papa yang teramat membutuhkan, niscaya akan lebih bermanfaat bagi ahli kubur
ini dan juga bagi kita. Para ahli kubur ini dirugikan oleh bunga-bunga tersebut,
karena mengurangi amal dan sedekah yang semestinya kita berikan dalam bentuk
lain yang lebih bermanfaat. Tak jauh di sebelah pemakaman ini, di antara
orang-orang yang berada di rumah sakit itu, terdapat orang-orang yang begitu merasakan
nilai rupiah demi rupiah untuk menyambung asa. Tidakkah kita berpikir uang
puluhan ribu untuk beberapa kuntum bunga itu akan lebih bermakna bila diberikan
pada hal-hal yang berfaedah.
Aku berpikir, rejeki nomplok yang
didapat petani itu lebih barokah dan halalan thayyiban jika diperoleh dari
penjualan tanaman pangan, buah, atau sayur yang mengandung nutrisi yang baik
dan menyehatkan. Namun sepertinya para petani tidak mempunyai kuasa untuk
menentukannya, mungkin hal ini merupakan sebuah ujian yang telah ditetapkan bagi
mereka. Aku sering mendengar konon uang yang didapat dari penjualan bunga ini
meski banyak, namun cepat habisnya. Mungkin seperti yang pernah kudengar dari
seorang pedagang tembakau bahwa jual beli tembakau kebanyakan berujung
maksiyat.
Rasulullah SAW pernah meletakkan
pelepah kurma basah di atas sebuah kubur. Namun setahuku hanya dilakukan sekali
saja, bahkan juga tidak memerintahkan para sahabat dan umatnya untuk mencontoh
tindakan tersebut. Beliau SAW tidak memerintahkan kita meletakkan pelepah
kurma, pelepah pisang, pelepah kaktus atau bunga di atas makam. Setahuku,
basahnya pelepah tersebut merupakan tenggang waktu atas syafaat Beliau SAW
berupa keringanan hukuman sementara. Wallahu a’lam.
Hanya menurut logikaku, jika di
Negeri Arab yang tandus ditradisikan meletakkan pelepah kurma basah di makam,
maka akan mengancam ketahanan pangan penduduknya. Di Pulau Bali yang subur saja
penggunaan janur untuk sesaji menghancurkan produksi tanaman kelapa di daerah
tersebut, bahkan masih kurang, harus mendatangkan janur dari luar. temtunya
logika di pikiran kita tak selamanya benar. Di Negeri Arab yang tandus, tiap
musim Haji disembelih jutaan kambing untuk kurban dan membayar dam, namun di
sana tidak pernah kekurangan kambing. Konon kambing di sana diberi makan
kertas, tapi kambingnya gemuk-gemuk. Sedang di negeri yang subur dan kaya akan
rumput segar ini, sulit membuat kambing menjadi gemuk. Tiap musim kurban harga
kambing selalu melonjak, padahal yang melaksanakan kurban di daerahku hanya
segelintir orang saja dari yang seharusnya mampu. Katanya di sana enam ratus
ribuan bisa mendapatkan seekor kambing, jauh lebih murah dibanding di negeri
ini.
Maka pada setiap akhir Ramadhan, harga
bunga yang begitu menggiurkan membuat para pemetik bunga tak tertarik lagi akan
keutamaan bulan suci tersebut atau iming-iming pahala lailatul qadar. Kesibukan
memetik bunga tidak lagi mengenal waktu siang dan malam, bahkan terkadang harus
berjaga malam di sawah untuk mengamankan bunga dari pencuri. Hingga ketika
lebaran, uang banyak yang didapat dengan cara mudah tersebut mungkin menjadi
penyebab orang-orang begitu enteng mengeluarkannya untuk hal-hal yang berbau
hura-hura, kembang api dan petasan. Sebagaimana melonjaknya harga tembakau,
sering diikuti melonjaknya kasus perceraian, HIV dan bubarnya majelis ilmu
hingga bubarnya jamaah shalat Jum’at.
Dan semoga aku senantiasa diberi
keteguhan akan tekadku ini, sekalipun bunga mawar atau tembakau
mengiming-imingi aku uang yang melimpah, aku lebih memilih menanam tanaman yang
memberi manfaat bagi orang-orang. Jika hasil yang kudapat di dunia ini tidak
sebaik yang mereka dapat, aku berharap semoga menjadi simpananku di akherat
kelak. Namun aku juga berharap jika suatu saat nanti saat kesadaran orang-orang
telah terbuka, tanaman-tanaman yang halalan thayyiban ini menjadi lebih
berharga. Atau kelak orang-orang menanam bunga ini untuk dimanfaatkan madunya
yang bermanfaat, bukan untuk sesaji di atas pusara.
Pilihan untuk menebar kemanfaatan
ini aku harap menjadi motivasi agar aku masih dikuatkan untuk melanjutkan karya
di antara ketidakberdayaanku ini. Rumah sakit sebelah pemakaman ini, hampir dua
puluh tahun ini menjadi saksi, hingga pernah menjadi seperti rumahku yang ke
dua. Tempat di mana lebih mudah untuk mengerti makna kehidupan, pengharapan,
syukur dan kesetiakawanan.
Wahai bunga mawar di tepi
pematang, engkau begitu indah dipandang, namun setelah itu layu begitu saja.
Aku lebih terkesan pada seonggok bangkai yang terbuang, namun ada makhluk lain yang
mengambil faedahnya. (dakwatuna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar