Seorang muslim menerima sepenuhnya keberadaan suatu mukjizat, sebagai bentuk keimanan kepada Allah yang berkuasa untuk melakukan apa saja, meski secara logika manusia mustahil terjadi. Seiring tingkat pengetahuan umat manusia yang terus berkembang, makin banyak orang yang mencoba menjelaskan keajaiban yang terjadi dalam sudut pandang ilmiah. Mereka tidak puas dengan jawaban ‘Kuasa Tuhan’ atau ‘Kehendak Tuhan’ semata.
Cara pandang terhadap suatu mukjizat
menjadi berubah, dari sudut pandang yang menganggapnya semata-mata merupakan
kehendak Tuhan dan pekerjaan malaikat-malaikat yang diutusNya, kemudian meluas
pada sudut pandang di luar dogma, bahwa mukjizat-mukjizat itu secara ilmiah
memang dimungkinkan terjadi, dan bisa dijelaskan secara rasional.
Taraf pengetahuan yang dicapai umat
manusia tidaklah sempurna. Implikasinya, ia akan senantiasa dinamis. Upaya
menjelaskan suatu mukjizat secara rasional, tetaplah akan berhadapan pada
keterbatasan manusia. Lahirlah teori-teori sesuai dengan tingkat peradaban yang
dicapai oleh suatu generasi. Bukan hanya satu teori, bahkan memungkinkan muncul
beberapa teori yang kontradiktif satu sama lain. Dinamika peradaban selanjutnya
akan menguji kebenaran teori-teori tersebut, menguatkan kebenarannya atau menetapkannya
menjadi usang.
Rasionalitas Nabi Musa Membelah Laut dan Ashabul Kahfi
Banyak pihak yang mencoba
mengungkap rahasia terbelahnya laut yang dilalui Nabi Musa bersama pengikutnya,
mendorong banyak penelitian ilmiah tentangnya. Apakah peristiwa tersebut benar
nyata pernah terjadi dan bagaimana proses ilmiah yang berlangsung. Untuk tidak
puas dengan berhenti pada penjelasan dogmatis semata, pukulan tongkat Nabi Musa
atau pertolongan Allah dan bantuan malaikatNya.
Banyak teori bermunculan,
beberapa di antaranya saling kontradiktif, namun sebenarnya juga bisa saling
mendukung. Dari beberapa informasi yang berbeda mengenai satu hal, maksimal hanya
ada satu yang paling tepat. Tetapi yang terpenting dari upaya mengungkap
misteri ini adalah bahwa fenomena tersebut secara ilmiah memang dimungkinkan
terjadi.
Teori tiupan angin kencang,
badai, gempa, gunung meletus dan tsunami muncul untuk menjelaskan penyebab tersibaknya
air laut sehingga terbentang sebuah jalan yang bisa dilalui. Bahkan juga mencoba
mensimulasikan melalui program komputer.
Tetapi apakah hal tersebut terjadi
dengan sendirinya secara kebetulan, bahkan kebetulan air laut tersibak begitu
saja tepat ketika rombongan Nabi Musa dan pengikutnya dalam kondisi terdesak?
Dan ternyata kejadian-kejadian alam yang luar biasa seperti angin, gempa dan
sebagainya tidak pernah begitu saja membuat sebuah laut terbelah sebagaimana
yang terjadi pada waktu itu.
Mengenai rahasia Ashabul Kahfi, di
balik kehidupan manusia yang tertidur selama 309 tahun, memunculkan upaya untuk
menggali keterangan dalam Al Qur’an dan pengetahuan yang dicapai manusia saat
ini. Taraf pengetahuan sebelum kita hanya memandang peristiwa tersebut dalam
perspektif keajaiban mukjizat semata, tetapi dengan pengetahuan yang telah dicapai
generasi ini telah membuka jalan untuk mengungkapkan mekanisme ilmiah pada
mukjizat tersebut. Muncullah beberapa teori yang mencoba menjelaskannya, yaitu teori
hibernasi dan yang lebih spesifik yaitu teori penonaktifan fungsi telinga.
Sudut pandang hibernasi
mengkaitkan fenomena Ashabul Kahfi dengan mekanisme mempertahankan hidup yang
dimiliki hewan mamalia saat musim dingin dengan cara menurunkan level aktivitas
metabolisme tubuh, ciri yang paling jelas adalah tidur panjang. Sedang dari
sudut pandang teori penonaktifan fungsi telinga fenomena itu dijelaskan merujuk
kepada ayat dalam QS. 18:11, “Kami tutup
telinga mereka beberapa tahun dalam gua.”
Indra pendengar di telinga
bekerja secara terus menerus dalam semua kondisi, termasuk ketika tidur. Sehingga
dalam kondisi tidur sekalipun, seseorang akan tetap terkena pengaruh lingkungan
sekitarnya. Itulah mengapa suara dari luar bisa membangunkan orang yang sedang
tidur. Jika telinga dalam keadaan nonaktif, tidur seseorang menjadi suatu
istirahat yang sempurna, menghentikan hampir seluruh proses dalam tubuhnya,
sehingga memungkinkan kondisi fisik tetap tanpa perubahan dalam masa yang
panjang.
Namun dalam kondisi hibernasi,
pada makhluk hidup tetap terjadi pertumbuhan rambut, kuku dan pembuangan
kotoran, juga tetap memerlukan nutrisi. Ketika dihubungkan dengan kejadian
Ashabul Kahfi yang tidur selama 309 tahun tanpa perubahan apa pun, sejauhmana
teori-teori itu memadai untuk menjelaskan fenomena tersebut dengan sempurna?
Kembali pada keyakinan bahwa
proses ilmiah pada kejadian tersebut tetaplah merupakan intervensi kehendak dan
campur tangan Allah, dan bukan terjadi secara kebetulan dengan sendirinya.
Namun Al Qur’an sendiri mengisyaratkan tentang kondisi yang dipersiapkan untuk
menunjang kehidupan Ashabul Kahfi secara fisik.
Pertama, membolak balik badan
terus menerus selama tidur. “Kamu mengira
mereka itu bangun, padahal mereka tidur, Kami bolak balikan mereka ke kanan
& ke kiri” (QS. 18:18). Secara medis, tidur dalam posisi tetap dalam waktu
yang lama akan menyebabkan luka dan pembusukan pada bagian tubuh yang menerima
beban, juga terjadinya penggumpalan darah dan paru-paru. Di rumah sakit, pasien
yang telah jompo, koma atau lumpuh diberi jadwal yang memandu perubahan berkala
posisi berbaringnya.
Kedua, tubuh Ashabul Kahfi mendapatkan
paparan sinar matahari pada pagi dan sore secara seimbang dan memadai.
Keberadaan cahaya berperan dalam menjaga kehidupan mereka, menjaga kesehatan
tulang dan kulit, melindungi tubuh mereka dari kadar basah dan keracunan di
dalam gua yang gelap, paparan sinar juga tidak berlebihan yang bisa berakibat
memanggang mereka. “Dan kamu akan melihat
matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila
matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada
dalam tempat yang luas dalam gua itu” (QS. 18:17).
Ketiga, mereka berada dalam gua
dengan ventilasi yang baik yang memungkinkan mendapatkan sirkulasi udara dan
cahaya yang cukup. “Mereka berada dalam
tempat yang luas dalam gua itu” (QS. 18:17).
Keempat, perlindungan eksternal
berupa rasa takut terhadap mereka. Allah menjadikan mereka dalam kondisi yang
sangat asing, orang akan mendapati mereka seperti orang yang belum tidur tetapi
tidak bangun. Keberadaan anjing yang berada di halaman pintu gua juga berperan
dalam menjaga mereka. Sebagaimana firman Allah “sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua.
Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka
dengan melarikan (diri) dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan ketakutan
terhadap mereka” (QS. 18:18).
Kelima, Allah melindungi mata dan
memberikan ketakutan pada mereka, firman Allah “kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur” (QS. 18:18).
Kondisi gua yang amat menunjang
kehidupan mereka, ventilasi cahaya dan sirkulasi udara yang baik, serta
keberadaan anjing yang menyertai mereka merupakan isyarat bahwa Allah juga mempersiapkan pra kondisi di samping
keajaiban tersebut. Lantas bagaimana juga menjelaskan mekanisme yang menyebabkan
tubuh mereka berbolak-balik, sejauh mana tingkat pengetahuan yang kita capai bisa
menjelaskannya, masih merupakan misteri.
Penemuan yang lebih mutakhir mungkin
akan menguji kebenaran teori ini, sebuah keterbatasan pengetahuan manusia dalam
mengungkap rahasia ciptaan Tuhan dengan ilmuNya yang tak terhingga. Namun bagi
peradaban kita ini, masih banyak mukjizat yang hanya bisa diterima sebatas
dogma. Akankah peradaban yang lebih mutakhir dari kita suatu saat nanti akan
mampu menjelaskannya secara rasional?
Sebagai contoh, seperti apa yang
diceritakan dalam QS. 2: 259, yang memiliki kemiripan dengan kejadian Ashabul
Kahfi, tetapi ada yang lebih spesifik
dan rumit untuk dijelaskan. Seorang yang tertidur selama seratus tahun, ketika
bangun makanan dan minunan yang dibawanya belum berubah, sedang keledai yang
menyertainya telah berubah menjadi tulang belulang. Juga tentang Nabi Ibrahim
yang selamat dari pembakaran, bagaimana menjelaskan mekanisme mengapa api tidak
membakar tubuh Nabi Ibrahim.
Ketika Sains Memengaruhi Penafsiran
Al Quran bukan sebuah kitab yang
mencakup pengetahuan segala hal, nabi juga tak berkewajiban menyampaikan dengan
detail semua tentang sains dan teknologi. Tetapi keduanya mendorong manusia
untuk bertafakur pada Sang Pencipta melalui ciptaanNya yang sempurna, hingga
mengajarkan banyak hal yang bersinggungan dengan fenomena alam, bahkan yang
belum dicapai peradaban manusia pada saat ia diturunkan. Berbagai rahasia
fenomena alam yang disingkapnya menjadi bukti bahwa ia berasal dari Sang
Pencipta alam semesta.
Namun upaya memahami ayat-ayat
yang bersinggungan dengan fenomena alam tetap terbingkai keterbatasan
pengetahuan yang dicapai suatu peradaban. Adakalanya suatu generasi memasukkan
puncak-puncak pengetahuan yang mereka capai ke dalam penafsiran kitab suci,
padahal pengetahuan tersebut bukan puncak pengetahuan manusia, ia hanyalah
puncak pengetahuan pada masa itu. Ketika pengetahuan berkembang lebih maju,
suatu teori menjadi usang, padahal ia terlanjur dimasukkan ke dalam dogma, maka
kesalahan tangan-tangan penafsir ini akan menimbulkan persepsi yang kurang baik
terhadap kesucian suatu dogma yang dibawanya. Hal inilah yang telah menodai
berbagai agama dan teks suci sebelum kita.
Di sinilah perlunya kehati-hatian
dalam memasukkan penemuan-penemuan baru ke dalam penafsiran kitab suci, meski
dengan maksud baik menunjukkan kemukjizatannya. Hal-hal yang sudah pasti dari
keduanya tidak mungkin bertentangan, tetapi menyandarkan pada teori-teori yang
belum pasti membawa resiko ketika di kemudian hari ternyata ia salah. Bagi yang
telah sepenuhnya mengimani kebenaran kitab suci, kesalahan tersebut tidak akan
menggoyahkan keyakinan pada kesuciannya, kesalahan tersebut disadari sebagai
keterbatasan manusia yang menafsirkannya, dan kemudian tinggal dilakukan koreksi
atas penafsiran tersebut. Tetapi bagi mereka yang belum mengimani atau masih
dalam pencarian, akan mengakibatkan kredibilitas sebuah kitab suci turun di
mata mereka.
Sebagai contoh misalnya, dalam
suatu peradaban sebelum kita, tujuh
lapis langit dan bumi dikaitkan dengan tujuh buah planet dalam sistem tata
surya yang dikenal pada masa itu. Ketika ilmu pengetahuan berkembang, lebih
banyak planet yang ditemukan, tafsir tersebut direvisi menjadi tujuh buah
planet yang berada di atas bumi (planet-planet luar), dan ketika makin banyak
planet ditemukan, bahkan definisi planet sendiri masih menjadi kontroversi, menjadi
indikasi bahwa tafsir tujuh lapis langit dengan tujuh buah planet tidak tepat.
Kata alaq dalam Al Qur’an selama ini selalu diartikan dengan segumpal
darah. Secara bahasa alaq bisa
diartikan ‘segumpal darah’, tetapi juga ada arti lain yaitu ‘sesuatu yang
menggantung’. Peradaban sebelum kita tidak merasakan kejanggalan jika alaq diartikan dengan segumpal darah.
Seiring perkembangan pengetahuan, keyakinan tersebut mulai menjadi kontroversi,
sesuatu yang menggantung dipandang lebih sesuai dengan maksud alaq, di mana menurut ilmu medis modern tahapan
perkembangan embrio tidak melewati fase sebagai segumpal darah.
Adnal ardhi dalam QS. 30:3 biasanya diartikan dengan negeri yang
terdekat, maksudnya tempat di mana Persia mengalahkan Romawi berada di negeri
yang dekat dengan Arab. Tetapi seiring kemajuan pengetahuan yang dicapai
manusia, kata adna yang berarti
rendah dihubungkan dengan tempat kalahnya Romawi di sekitar Laut Mati yang
merupakan daratan terendah dari permukaan laut di muka bumi ini.
Demikian pula kata fauqoha dalam QS. 2:26, yang selama ini
diartikan dengan lebih kecil, maksudnya Allah tidak segan membuat perumpamaan
seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu. Tetapi hal tersebut menyisakan
pertanyaan karena kata fauqo secara
bahasa berarti ‘di atas’. Ketika ada penemuan tentang mikroorganisme yang
tinggal di atas kepala nyamuk, memunculkan wacana bahwa yang dimaksudkan dengan
fauqoha dalam ayat tersebut adalah
‘yang berada di atas nyamuk’, yaitu mikroorganisme tersebut.
Dalam QS. 27:88, diisyaratkan
bahwa gunung-gunung berjalan sebagaimana jalannya awan. Di samping ada yang
menghubungkan ayat ini dengan revolusi bumi, kemudian ada yang menghubungkannya
dengan pergerakan lempeng benua. Selain itu juga ada pihak yang memahaminya
sebagai bergeraknya gunung-gunung pada hari kiamat kelak.
Membawa Dogma di Antara Ketidakpastian Teori
Sebaliknya, ketika pengetahuan
manusia belum mampu mengungkap suatu misteri dengan tuntas, penafsiran dalam
agama sering dibawa di antara teori-teori dan dugaan yang masih kontradiktif.
Sebelum misteri itu tuntas, membawa klaim-klaim penafsiran dogma masih
merupakan hal yang menarik, mendukung salah satu pihak. Sebelum teori bumi
bulat dan pemuaian alam semesta menjadi suatu kepastian, klaim-klaim dogmatis
senantiasa menyertai perdebatan suatu kontroversi.
Pada tafsir klasik, petir dalam
Al Qur’an ditafsirkan dengan cemeti malaikat. Seiring perkembangan pengetahuan
manusia, sudut pandang tafsir pun berubah, Muhammad Abduh dalam tafsirnya Al
Manar menyebut petir sebagai tumbukan udara, sebuat lompatan untuk menerima
masukan pengetahuan terkini ke dalam tafsir, di tengah apriori yang masih kuat
pada masa tersebut. Jika pengetahuan terkini menyatakan petir merupakan
lompatan arus listrik, sudut pandang tafsir terkini akan cenderung terpengaruh.
Mengenai banjir Nabi Nuh, di luar
agama ini menempatkannya sebagai peristiwa banjir yang menenggelamkan seluruh
permukaan bumi hingga puncak gunung tertingginya, memusnahkan semua spesies di
permukaan bumi kecuali yang berada dalam kapal Nabi Nuh. Ilmu pengetahuan akan
sulit menerima penjelasan ini meski dalam bingkai ‘Tuhan mampu melakukan apa
saja’, demikian pula fakta sejarah juga tidak mendukung keterangan tersebut.
Sementara dalam Al Qur’an tidak spesifik menjelaskan seperti itu, cenderung
memberi isyarat banjir tersebut terjadi secara lokal, sebatas menimpa kaum Nabi
Nuh sebagaimana juga menimpa kaum-kaum lain (QS. 9:70), tetapi juga bukan
merupakan banjir biasa, jauh lebih besar. Dari informasi tentang banjir ini
memunculkan beberapa teori yang mencoba menjelaskannya, teori mencairnya es di
kutub, teori benda angkasa yang mendekati bumi sehingga gravitasinya
memengaruhi konsentrasi air, dan sebagainya.
Pembangunan piramid masih
menyisakan misteri, keterangan dalam teks suci seringkali dibawa untuk
menguatkan salah satu teori. Adanya keterangan dalam agama tentang manusia
zaman dahulu yang berpostur raksasa hingga setinggi 30 hasta dipakai sebagai argumentasi untuk
mendukung pihak yang mengemukakan teori bahwa batu-batu besar piramid disusun
oleh manusia-manusia raksasa tersebut, karena dengan postur kecil seperti
manusia masa kini tidak mungkin menyusun batu-batu seukuran tersebut, tanpa
bantuan teknologi berat. Di pihak lain, dengan membawa penafsiran QS. 28:38,
yang mengisyaratkan adanya tekhnik pembakaran tanah liat, memunculkan teori
bahwa batu-batu besar piramid tidaklah diangkut dari tempat lain tetapi dicetak
di tempat, dengan bahan yang berasal dari tanah liat.
Pembagian kadar makanan dalam
empat masa dalam ayat tentang penciptaan bumi, QS. 41:10, sering dikaitkan
dengan empat masa dalam ilmu geologi. Keterangan tentang langit yang tercipta
dari asap dalam QS. 41:11, sering dipakai untuk mendukung teori nebula.
Sedangkan keterangan dalam QS. 21:30 tentang langit dan bumi yang dahulu
merupakan sesuatu yang padu seringkali dipakai untuk mendukung teori Big Bang.
Misteri
keberadaan makhluk di luar bumi telah lama menarik perhatian para peneliti. Beberapa
ayat sering terbawa dalam kontroversi ini, misalnya QS. 42:29. Tentunya misteri
tersebut tidak bisa terpecahkan begitu saja dengan ayat-ayat itu, penafsirannya
juga belum pasti. Keterangan tentang kehidupan Nabi Adam merupakan suatu
kepastian mengenai adanya kehidupan di luar bumi ini, tetapi menjadi pertanyaan
apakah kehidupan tersebut memiliki spesifikasi sama dengan yang sebagaimana
menjadi obyek penelitian selama ini, terjangkau secara fisik, ataukah kehidupan
dalam spesifikasi lain. Demikian pula tentang upaya memecahkan misteri keberadaan
manusia purba dan peradaban tinggi masa lampau.
Jika kontroversi bumi berbentuk
bulat telah selesai, lain halnya dengan kontroversi masalah bumi mengelilingi
matahari atau sebaliknya, matahari yang sebenarnya mengelilingi bumi. Selain
adu argumentasi dalam ranah ilmiah, dalam ranah agama pun adu argumentasi dan
dalil-dalil masih berlangsung.
Prediksi Sebelum Suatu Mukjizat Terwujud
Tidak hanya untuk menjelaskan secara
ilmiah keajaiban-keajaiban yang telah terjadi di masa lalu, seperti terbelahnya
bulan, utuhnya jasad Firaun, misteri Nabi Yunus di perut ikan, dan sebagainya.
Bahwa semua itu memang benar-benar pernah terjadi memungkinkan adanya
penjelasan ilmiah tentangnya. Di samping itu agama juga menginformasikan
keajaiban yang baru akan terjadi di masa depan, seperti hadits-hadits Nabi
tentang terbitnya matahari dari arah barat, kembalinya negeri Arab menjadi
subur seperti pada masa lalu, dan terjadinya kiamat.
Pada hal-hal tersebut, memunculkan
upaya-upaya mengemukakan argumentasi bahwa hal tersebut secara ilmiah memang
akan terjadi. Sekaligus memunculkan teori-teori yang menjelaskan tentang
bagaimana prosesnya secara ilmiah.
Informasi terbitnya matahari dari
barat memunculkan beberapa teori. Teori perlambatan rotasi bumi hingga titik
jenuh, teori pergantian kutub magnetik matahari dan bumi, teori gangguan sistem
Tata Surya dan sebagainya. Sedang tentang suburnya kembali Tanah Arab, memunculkan
beberapa teori seperti teori zaman es dan perubahan arus angin. Waktu yang akan
menguji kebenaran teori-teori tersebut.
Sebuah Pelajaran Sempurna
Bahwasanya Allah mampu menciptakan apa pun tanpa proses sama
sekali dan mengerjakan sendiri tanpa bantuan siapa pun, tetapi kesempurnaan
hikmah yang Dia karuniakan kepada kita agar kita merasakan keagungan KerajaanNya.
Dari perkara yang besar hingga yang terkecil di alam semesta ini, dari
pergerakan bintang dan planet hingga pergerakan partikel, tidak begitu saja
terjadi tanpa penjelasan, berlangsung dari proses-proses yang tersusun, baik
dari sudut pandang ilmiah maupun peran para malaikatNya pada semua proses
tersebut dalam sudut pandang dogma, dan akhirnya menjadi kesempurnaan ibrah
bagi hamba-hambaNya.
Firman Allah, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka.” (QS. 3:190-191) “Dan
tidaklah Kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya
dengan bermain-main. Sekiranya Kami hendak membuat sesuatu permainan, tentulah
Kami membuatnya dari sisi Kami. Jika Kami menghendaki berbuat demikian,
(tentulah Kami telah melakukannya). (QS. 21:16-17)
Keimanan yang kita miliki tetap
menempatkan segala sesuatu yang terjadi tanpa menafikkan keberadaan dan peran
Sang Pencipta, bukan hanya untuk kejadian-kejadian yang luar biasa, tetapi juga
pada kejadian-kejadian keseharian dalam kehidupan kita. Sebagaimana firman
Allah dalam QS.41:47, “Kepada-Nyalah dikembalikan
pengetahuan tentang hari Kiamat. Dan tidak ada buah-buahan keluar dari
kelopaknya dan tidak seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula)
melahirkan, melainkan dengan sepengetahuanNya. Pada hari Tuhan memanggil
mereka: "Dimanakah sekutu-sekutu-Ku itu?", mereka menjawab:
"Kami nyatakan kepada Engkau bahwa tidak ada seorangpun di antara kami
yang memberi kesaksian (bahwa Engkau punya sekutu)." Juga dalam QS.
35:11, “Dan tidak ada seorang
perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan
sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur
panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam
Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.”
Pelajaran lain yang kita
dapatkan, dari sisi proses yang kita jalani, yaitu tentang bagaimanapun Allah
berkuasa melakukan apa pun untuk menolong hambaNya, tetapi peran kita melakukan
sesuatu sebagai suatu bentuk ikhtiar juga tidak bisa dinafikkan. Bukan hanya
pada bentuk usaha yang rasional, sempurna dan memadai, ketika kondisi seperti
itu tidak mampu dipenuhi, peran suatu ikhtiar tetap bernilai. Laut tidak begitu
saja membelah atau mata air begitu saja memancar atas perintah Allah, tetapi tetap
dikehendaki adanya peran Nabi Musa yang memukulkan tongkatnya. Nabi Ibrahim
tidak begitu saja diselamatkan dari api, tetapi ia diperintahkan mengucapkan
sebuah doa sebagai permohonan.
Di antara kekhawatiran pada
persinggungan antara penemuan ilmiah dengan penafsiran teks suci, sebuah
kehati-hatian memang perlu terjaga. Namun sejauh ini penemuan-penemuan yang
telah tercapai justru makin menunjukkan kebenaran Al Qur’an, mengungkap
berbagai fakta ilmiah menakjubkan di dalamnya. Banyak keajaiban yang telah
terungkap dengan pasti, tentang kegelapan di dalam laut (QS. 24:40), batas pertemuan
dua laut (QS. 25:53), proses terjadinya awan dan hujan (QS. 24:43, QS. 30:48),
embriologi dalam berbagai ayat dan sebagainya yang baru terungkap oleh pencapaian
iptek modern, hingga mengantarkan pada kesimpulan bahwa kitab ini benar-benar
berasal dari Pencipta alam semesta.
Wallahua’lambishawwab.
http://www.dakwatuna.com/2014/01/28/45445/pertemuan-mukjizat-dogma-dan-sains-proses-di-balik-proses/
Referensi:
- Al Qur’anul Karim
- Harun Yahya
- Berbagai sumber lain